Renungan
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱللَّهَ غَـٰفِلًا عَمَّا يَعْمَلُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍۢ تَشْخَصُ فِيهِ ٱلْأَبْصَـٰرُ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak, (QS.14:42)

Kamis, 04 November 2010

Suka Menilai Orang

Sungguh, hati, rasa , dan ‘aqalmu sudah tidak lagi dapat berfungsi dalam kehidupan diri. Tidakkah kau malu pada Allah yang telah mencipta dirimu? Bagaimana bisa kau menilai orang lain sementara dirimu sendiri tidak pula jauh berbeda dengan mereka? Bahkan bisa jadi keburukanmu lebih banyak dibandingkan mereka yang sedang kau nilai. Seseorang berani menilai, berarti telah berani pula menyatakaan dirinya labih baik dari pada yang sedang dinilai. Berbeda dengan mereka yang telah dikaruniai mata hati. Mereka bersikap bukan menilai fihak lain, tetapi mereka diberitahu oleh Allah, sehingga mereka dapat mengatakan dengan yaqin dan pasti bahwa si A adalah demikian.
Bagaimana perasaanmu jika

ada seseorang menilai dirimu dengan duga-duga, ternyata penilaiannya meleset jauh dari dugaannya? Bukankah kau akan sakit hati, apalagi jika penilaiannya adalah “penilaian buruk”. Dalam dunia pendidikan sering guru menilai muridnya. Keberanian guru menilai muridnya, karena pengetahuan guru berada di atas pengetahuan murid. Maka pertanyaan apakah di saat kau menilai seseorang, kau telah dapat menjamin dirimu telah melebihi mereka yang sedang kau nilai? Sungguh di sinilah letak kezhaliman manusia, telah melampaui batas kuasa Allah.
Demikian itulah sikap dan sifatmu selalu tampil seakan-akan diri lebih baik dibandingkan fihak lain. Sebenarnya penilaianmu itu tidak lain hanyalah untuk menutupi aib dirimu. Tetapi aib-aibmu kau tutup rapat dengan membalikkan keaiban diri pada fihak lain, dengan cara salah satunya ialah banyak menilai orang lain dari pada menilai diri sendiri.
Seseorang yang sadar akan dirinya , dia tidak akan menilai orang lain sebelum menilai jauh ke dalam dirinya sendiri. Bila dalam penilaian diri dijumpai catat-cacat diri maka dirinya tidak sanggup untuk menilai orang lain. Sedangkan mereka yang suka menilai orang lain adalah mereka yang tidak pernah menilai dirinya sendiri. Bahkan tidak pernah menyadari apa dan bagaimana buruknya diri. Hancurnya kehidupan bermasyarakat, disebabkan satu sama lain saling menilai, tanpa lebih dahulu menilai dirinya sendiri.
Oleh karena itu wahai Si Fulan! Haq muthlaq Allah untuk menilai seseorang, “Apakah dia baik atau buruk?”, sebab Allah yang telah mencipta manusia, maka Allah pula yang tahu penyimpangan tiap-tiap diri. Sekiranya logika menyadari penuh bahwa diri manusia itu adalah ciptaan Allah, maka logika tidak akan mampu menilai orang lain. Tetapi karena sifat logika itu sombong, dan selalu mengesampingkan keberadaan Allah, akhirnya sikap logika semaunya menilai fihak lain. Padahal bila satu pertanyaan dilontarkan pada logika, habis dan terpojoklah logika, yakni dengan satu petanyaan: masihkah logika dapat berbangga bila diri manusia itu telah mati? Dalam hal ini logika tidak pernah berfikir sejauh itu, bahwasanya dalam diri manusia ada dzat yang sangat berperan dalam gerak kehidupan manusia , yaitu dzat hidup yang merupakan bagian dari Dzat Maha Penghidup yaitu Allah, sedangkan yang dimaksud dzat hidup dalam diri manusia yang merupakan Dzat Maha Penghidup Allah adalah ruh.

Dikutip dan diringkas dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul: ”Si Paul Peci di Atas Dengkul”, Halaman: 41, Bunga Rampai LAUKAPARA Seri Noda-Noda Kehidupan; Yayasan Badiyo, Malang.

5 komentar:

  1. Jaman sekarang keliatannya sulit kita untuk tidak menilai orang lain, PILKADA, PILPRES, PILKADES, semuanya harus ada penilaian. yang terbaik yang kita pilih.

    BalasHapus
  2. Kebaikan apa pun yang ada pada manusia, sesungguhnya adalah anugerah Allah baginya atas kualitas penghambaannya. Dengan cara itu Allah memuliakan si hamba di antara manusia; ibarat Allah memasang-pakaian baju kemuliaan dan keterpujian bagi si hamba. Bagi yang tak waspada, ia akan menilai dan merasa bahwa dirinya sungguh-sungguh telah baik, mulia, dan terpuji, lalu terbuai menikmatinya. Akhirnya merasa memiliki dan menguasai segala pujian itu. Akibatnya, jika tidak diperhatikan, tidak disanjung-dimuliakan, tidak dielu-elukan manusia, ia kecewa, putus asa, atau marah. Bila mendapatkannya, ia bangga dan takabur. Begitulah ia terhijab oleh kerangkeng penjara kemuliaan (karomah) semu buatan manusia. Ia terhenti untuk meneruskan perjalanannya menuju Rabb.

    BalasHapus
  3. sungguh aku takut untuk memberikan penilaian terhadap seseorang...karena pertanggungan jawabnya begitu besar dihadapan Allah...apalagi untuk urusan PILKADA...PILPRES...PILKADA atau tetek bengek lainnya seperti yang mas Samsul sampaikan..salah ataupun benar,kita tetap dimintai pertanggungan jawab kelak...cukup aku yang menilai diriku saja,bukan untuk menilai orang lain...Janganlah engkau memberikan jabatan kepada orang yang memintanya.

    BalasHapus
  4. Terimakasih mas opq, betul yang anda katakan, ini haditsnya:
    Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut (berpamrih atas) suatu jabatan. Sesungguhnya jika (kamu) diberi karena ambisimu, maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya (urusan itu) (HR Bukhari dan Muslim).
    Kami tidak mengangkat orang yang berambisi (berpamrih meraih) kedudukan (HR Muslim).

    BalasHapus
  5. Mas, Assalamu'alaikum..kok saya belum ketemu namanya yang punya blog ini..Oh iya mas, saya mau tanya, dulu saya pernah pinjam baca buku "Si Paul" ini, tapi saya ingin tau karena sekarang udah lupa apa kepanjangan kata KYAI di buku itu, boleh bantu saya ya mas..

    Wassalam,
    ..Abu Hala..

    BalasHapus