Renungan
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱللَّهَ غَـٰفِلًا عَمَّا يَعْمَلُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍۢ تَشْخَصُ فِيهِ ٱلْأَبْصَـٰرُ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak, (QS.14:42)

Rabu, 13 Oktober 2010

Si Kodok Berprasangka Buruk

Orang-orang yang menumbuh-suburkan atau orang-orang yang hanya menata logika semata, pasti mempunyai keraguan sebagai unsur paling menonjol dalam dirinya. Awal keraguan mereka suka menimbang–nimbang untung rugi bagi nafsu. Jika nafsu diminta sumbangan pemikirannya, pastilah sasaran keuntungannya bagi nafsu itu sendiri. Sebaliknya bila sesuatu dinilai dan dipadang malah merugikan nafsu, spontanitas nafsu pun langsung berprasangka buruk. Padahal apa yang dinilai buruk bagi nafsu, belumlah tentu buruk pula secara haqeqat.
Prasangka buruk lahir dalam diri manusia-manusia yang memanjakan nafsunya. Akibat nafsu terbiasa dimanjakan, begitu ruh ingin segera bangkit, nafsu pun mulai bersiap siaga untuk ke dalam diri sendiri dengan sasarannya adalah ruh, begitu pula terhadap di luar diri. Bukti nafsu selalu berprasangka buruk ialah “ ketika ruh hendak mendekat atau berjumpa dengan Robb-nya, nafsupun melancarkan prasangka buruknya, yaitu jangan-jangan nantinya berakibat begini atau jangan-jangan nantinya berakibat begitu. Tepatnya ucapan prasangka buruk nafsu yang selalu dilontarkan adalah “hati-hati menempuh jalan menuju Allah”, beresiko tinggi, bisa saja nanti hidup sengsara. Kemudian nafsu berkata lagi: nanti ujiannya berat-berat, apa iya kamu mampu?”. Hal-hal seperti inilah salah satu bentuk prasangka buruk yang dilancarkan nafsu terhadap ruh. Nafsu itu sungguh sangat jahat, karena selalu menyeret langkah manusia pada jalan kemurkaan Allah. Nafsu berpura-pura menyenangkan diri. Padahal bila nafsu memiliki mata pandang yang jelas (mata pandang haqiqi), maka bergeraknya ruh menuju Robb, dengan sendirinya akan membawa keselamatan dan kebahagiaan bagi nafsu.
Sifat ruh tidaklah serakah sebagaimana sifat nafsu. Bila ruh menemukan kebahagiaan pasti dibagikannya kepada nafsu. Hanya saja kadang-kadang titik awal keberangkatan ruh menuju Allah membawa suatu kebahagiaan, selalu saja nafsu mempertahankan harga diri untuk menerima kebahagiaan yang diberikan ruh. Sering nafsu malah mencela atau mencemooh ruh. Kebahagiaan haqiqi yang diberikan ruh baru bisa dirasakan nafsu, setelah perjumpaan ruh dengan Allah pencipta berlangsung lama. Berbeda bila nafsu mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan nafsu hanya untuk nafsu sendiri, bahkan sering kebahagiaan nafsu justru untuk menekan atau membunuh kegiatan ruh. Di sinilah letak kejahatan nafsu. Nafsu selalu sok tahu, padahal di balik nafsu sok tahu adalah ketololan yang sangat, karena tidak dapat membedakan kesenangan semu dengan kesenangan haqiqi. Nafsu bukan hanya sok tahu bahkan nafsu juga sok pintar dan sok pengatur. Sehingga bukan saja ruh yang diaturnya, tetapi juga Allah selaku Pencipta tidak luput dari prasangka buruk nafsu, termasuk (dalam hal ini adalah) nafsumu sendiri. Nafsu seenaknya sendiri berprasangka buruk terhadap ruh dalam dirimu, bahkan kepada Allah. Apalagi terhadap di luar dirimu (makhluq ciptaan Allah lainnya). Begitu bebas semaunya nafsumu untuk berprasangka buruk.
Apakah kau mengira dirimu lebih baik dan lebih sempurna dari seseorang yang kau prasangkakan itu? Tidak wahai Si Fulan yang bersifat laksana kodok! Bahkan boleh jadi, dirimulah yang lebih buruk daripada yang kau prasangkakan itu. Atau apakah kau kira apa yang datang dari sisi Allah adalah lebih buruk pula menurut prasangkamu? Belum tentu! Justru boleh jadi dan pasti apa yang ada di sisimu lebih buruk daripada yang ada di sisi Allah. Oleh karena itu janganlah sesuatu itu selalu kau ukur dari sudut penilaian atau pandangan logika semata. Logikamu tidak bisa merasakan yaqin, dengan sesuatu yang telah nyata-nyata dihadapi. Orang-orang yang senantiasa berprasangka buruk ialah “orang-orang yang tidak dapat membaca esensi dengan sesuatu keyakinan”. Sehingga untuk menutupi ragu, prasangka buruklah yang dilontarkan, baik secara terang-terangan, maupun secara sembunyi-sembunyi.
Ketahuilah wahai Si Fulan yang bersifat laksana kodok! Prasangka buruk itu sebenarnya bukanlah pakaian anak manusia, khususnya ummat Islam. Islam selalu mendidik dan mengarahkan manusia untuk berbuat dengan berpendirian yaqin. Itulah sebabnya orang-orang yang termulia adalah orang-orang yang melihat, membaca dan mendengar sesuatu dengan yaqin. Keyaqinan muncul, karena apa yang dilihat, didengar dan dibaca melalui perantaraan Allah Dzat yang Maha Benar (Al-Haq). Sekalipun kau telah merubah sikap diri dengan tidak lagi berprasangka buruk melainkan berprasangka baik, apakah prasangka baik itu diarahkan terhadap Allah maupun terhadap makhluq lainnya, pada haqeqatnya belumlah dapat dikatakan seseorang telah mendapatkan keyaqinan. Bagaimanapun sesuatu itu bernilai (diprasangkakan baik), pada haqeqatnya masih bersifat duga-duga. Bukankah konteks demikian masih termasuk kategori orang-orang yang belum memiliki suatu keyaqinan? Betapa banyak manusia, khusunya ummat Islam yang berbahasa “berprasangka baiklah kepada Allah”. Maka orang yang arif dengan penuh ketelitian mengkaji kalimat tersebut sebagai orang-orang yang belum yaqin bahwa Allah benar-benar baik. Buktinya masih bersifat prasangka, belum yaqin secara pasti bahwa Allah adalah benar-benar baik. Sebab kalimat yang menyatakan “selalu berprasangka baik sajalah kepada Allah” sama saja masih meragukan kebaikan Allah.


Dikutip dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul: ”Si Paul Peci di Atas Dengkul”, Bunga Rampai LAUKAPARA Seri Noda-Noda kehidupan; Yayasan Badiyo, Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar