
Wahai Si Fulan yang bersifat laksana Si bunga mawar batang berduri! Karena Islam kau ketahui dari sisi namanya saja, yakni dari hasil pendengaran lingkungan, baik itu lingkungan keluarga kecil maupun lingkungan masyarakat, akhirnya Islam kau pandang sebagai suatu tradisi atau budaya nenek moyang. Sehingga tidak kau ketahui isi dari Islam itu sendiri yang haqeqatnya mengandung nilai-nilai luhur berupa:
* pengangkatan martabat kemuliaan manusia,
* membawa dan mendidik manusia untuk senantiasa berfikir yaqin (tanpa duga-duga maupun prasangka) sebagaimana Allah berbuat terhadap makhluqnya tanpa duga-duga atau prasangka,
* keselarasan jalan hidup manusia selaku kholifahtullah,
* serta keselamatan hidup manusia baik dunia maupun akhirat.
Betapa tidak berartinya “logika manusia” yang telah di dididik bertahun-tahun lamanya, hanya mencetak manusia berfikir duga-duga bahkan selalu berprasangka buruk. Alhasil prasangka buruk tidak saja terarah kepada sesama makhluq bahkan tidak jarang langsung terarah kepada Allah. Memang bila diperhatikan kehidupan bunga mawar, tidak pernah mampu memandang siapa sebenarnya diri. Akibat terlalu buta dan gelapnya daerah hati, maka terpandanglah diri lebih baik dan lebih sempurna dari diri orang lain. Tidak disadari diri ternyata lebih tidak berarti bahkan lebih buruk atau kotor daripada yang diprasangkai. Begitulah cara si bunga mawar menutupi keburukan dirinya. Sebenarnya prasangka buruk itu terhadap sesama makhluq maupun terhadap Allah adalah dirimu sendiri. Misalnya kau berprasangka buruk terhadap fihak lain. Misalnya menduga seseorang adalah kotor, maka apa yang kau tuduhkan kepada fihak lain itulah sebenarnya dirimu.
Agar keburukan pada diri tidak terlihat dan terbaca oleh fihak lain, maka dilemparkanlah keburukan itu ke luar diri, yaitu dengan cara berprasangka buruk. Jadi jelaslah setiap prasangka buruk yang dilemparkan ke luar diri sendiri, sama haln Jadi jelaslah setiap prasangka buruk yang dilemparkan ke luar diri sendiri, sama halnya membuka aib atau keburukan dirinya sendiri. Bagi orang yang sama-sama bermata hati buta, tidaklhidup mata hatinya (dengan dilong hidup mata hatinya (dengan dilontarkannya prasangka buruk) maka dengan mudah mengetahui bagi orang yang hidup mata-hatinya, bahwa sebenarnya itulah diri orang yang sedang berprasangka buruk. Mereka yang berprasangka buruk itu adalah mereka yang tidak pernah mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan sesungguhnya. Sehingga untuk memperoleh kebahagiaan dan kepuasan, jalan yang dilakukan adalah berprasangka buruk. Padahal kebahagiaan dan kepuasan yang diperoleh dari berprasangka buruk hanya dirasa oleh nafsu.
Jika ingin melepaskan diri dari belenggu iblis yang selama ini kuat membelenggu dirimu, seharusnya tempat persembunyian iblis yang ada di hatimu kau gusur dengan tekad bulat. Selama hatimu belum dapat bertekad bulat menggusur iblis dari sudut hati, jangan kau harap Allah dapat mengisi hatimu, sekali pun kau beribadah tunggang langgang, hasilnya hanya laksana buih di pinggir pantai seketika lenyap tidak berarti. Tidakkah kau ketahui ada beberapa tempat persembunyian iblis dihatimu? Jika tempat itu tidak segera kau gusur, selamanya dirimu akan berada dalam rantai ikatan belenggu iblis. “Tempat-tempat” itu adalah: kurang dan bahkan tidak bisa menghargai suami, sebagaimana mestinya seorang istri terhadap suami. Prasangka buruk inilah yang paling banyak menguasai hatimu, baik itu terhadap sesama, khususnya terhadap suami (selalu saja hatimu berprasangka buruk), bahkan terhadap Allah pun kau selalu berprasangka buruk. Akan lebih baik bila kau tidak mengerti apa sebenarnya, maka bertanyalah! Tetapi sikap dirimu tidaklah demikian. Kau suka menduga-duga dan berprasangka. Apakah kau kira sikap demikian itu tidak termasuk dosa?
Wahai Si Fulan laksana si bunga mawar batang berduri! Tidakkah kau ketahui bahwasanya Allah mendidik hambanya untuk senantiasa yaqin kepada sesuatu. Apa jadinya kehidupan ini jika hanya diisi oleh manusia-manusia yang suka menduga-duga dan berprasangka, apalagi berprasangka buruk. Sebenarnya prasangka itu adalah sifat iblis dan sifat binatang. Betapa rendahnya diri manusia khususnya dirimu (seorang wanita yang) telah Allah angkat derajatnya pada tingkat yang lebih mulia, tetapi kenyataan sifat perilaku sebagai tampilan sifat perilaku iblis dan binatang. Contoh prasangka buruk pada binatang adalah, apabila seekor binatang ayam diberi makanan secara langsung, maka sang ayam tidak mau segera memakannya, tapi melihat-lihat dulu pada si pemberi makanan, karena sang ayam berprasangka buruk yakni takut jika dengan diberi makan ayam akan dijebak dan ditangkap. Padahal sang pemberi makan itu semata-mata hanya memberi makanan, karena terdorong rasa kasihan dan memang senang terhadap ayam (bukankah hal demikian ini sama halnya dengan sifat prasangka buruk yang ditampilkan oleh ayam?). Demikianlah pula iblis berprasangka buruk terhadap Allah. Prasangka buruk iblis itu adalah dengan mengatakan keluarnya iblis dari syurga karena tersesat. Padahal kesesatan itu pilihan iblis sendiri. Padahal sebelumnya telah Allah jelaskan, jika iblis tidak mengikuti arahan Allah pastilah ia akan tersesat. Ternyata iblis memang memilih sendiri jalan sesat, tetapi Allah yang dipojokkan oleh iblis dengan menuduh justru Allah yang menyesatkan iblis.
Sebenarnya haqeqat prasangka buruk adalah kedengkian. Tanpa kedengkian tidak akan wujud sikap berprasangka buruk, sebagaimana kedengkian iblis terhadap Adam a.s. Begitu pula prasangka buruk yang ada pada dirimu karena didorong rasa kedengkian. Sedangkan prasangka buruk itu sendiri merupakan perangkap untuk menjatuhkan diri seseorang di mata fihak lain. Itulah sebabnya agar martabat kemuliaan tetap terjaga utuh, Allah didik manusia untuk senantiasa yaqin. Sekali pun prasangka burukmu kau tukar dengan berprasangka baik, itu pun belum termasuk seorang itu yaqin, sebagaimana lazimnya terdengar di tengah-tengah masyarakat, yakni “berprasangka baik sajalah kepada Allah”. Bukankah pernyataan tersebut gambaran pernyataan seseorang yang belum yaqin akan kebaikan Allah? Disinilah letak kehalusan iblis menyimpangkan keyaqinan manusia terhadap kebaikan Allah.
Oleh karena itu apa pun bentuk prasangka, apakah itu prasangka baik maupun buruk, tetap ternilai musyrik di mata Allah. Maka untuk menghilangkan prasangka buruk seseorang, diarahkan untuk senantiasa dekat dan bertanya kepada Allah. Sehingga apa yang dilihat, didengar atau ditelusuri tidak lagi membawa nilai prasangka atau duga-duga apalagi ragu-ragu, melainkan suatu yang yaqin dan nyata. Jika sesuatu terlihat baik, maka dengan keyaqinan itulah memang dipandang baik dan apabila sesuatu itu terpandang buruk, maka dengan keyaqinan itu pula akan terpandang buruk. Sangatlah fatal akibatnya bila sesuatu yang dilihat, di dengar ataupun yang sedang ditelusuri diandalkan pada logika semata. Sejauh manakah kemampuan logika dapat diandalkan untuk menyatakan “sesuatu” itu dengan keyaqinan pasti? Akibat ketidakmampuan logika menyatakan sesuatu yang pasti, muncullah prasangka, apakah itu prasangka baik maupun prasangka buruk. Untuk menutupi ketidakmampuan logika mengangkat sesuatu ternilai sebagai keyaqinan pasti, prasangka atau duga-duga ini dihaluskanlah bahasanya dalam dunia ilmu Yhd dikenal dengan istilah hypotesa bahkan lebih tinggi lagi diangkat sebagai suatu teori yaitu “teori kemungkinan”. Berbeda dengan hamba-hamba Allah yang segala sesuatunya selalu dinyatkan langsung kepada Allah, tidak ada yang tidak pasti perolehannya. Hal buruk akan terpandang buruk dan yang baik tetap terpandang baik.
* keselarasan jalan hidup manusia selaku kholifahtullah,
* serta keselamatan hidup manusia baik dunia maupun akhirat.
Betapa tidak berartinya “logika manusia” yang telah di dididik bertahun-tahun lamanya, hanya mencetak manusia berfikir duga-duga bahkan selalu berprasangka buruk. Alhasil prasangka buruk tidak saja terarah kepada sesama makhluq bahkan tidak jarang langsung terarah kepada Allah. Memang bila diperhatikan kehidupan bunga mawar, tidak pernah mampu memandang siapa sebenarnya diri. Akibat terlalu buta dan gelapnya daerah hati, maka terpandanglah diri lebih baik dan lebih sempurna dari diri orang lain. Tidak disadari diri ternyata lebih tidak berarti bahkan lebih buruk atau kotor daripada yang diprasangkai. Begitulah cara si bunga mawar menutupi keburukan dirinya. Sebenarnya prasangka buruk itu terhadap sesama makhluq maupun terhadap Allah adalah dirimu sendiri. Misalnya kau berprasangka buruk terhadap fihak lain. Misalnya menduga seseorang adalah kotor, maka apa yang kau tuduhkan kepada fihak lain itulah sebenarnya dirimu.
Agar keburukan pada diri tidak terlihat dan terbaca oleh fihak lain, maka dilemparkanlah keburukan itu ke luar diri, yaitu dengan cara berprasangka buruk. Jadi jelaslah setiap prasangka buruk yang dilemparkan ke luar diri sendiri, sama haln Jadi jelaslah setiap prasangka buruk yang dilemparkan ke luar diri sendiri, sama halnya membuka aib atau keburukan dirinya sendiri. Bagi orang yang sama-sama bermata hati buta, tidaklhidup mata hatinya (dengan dilong hidup mata hatinya (dengan dilontarkannya prasangka buruk) maka dengan mudah mengetahui bagi orang yang hidup mata-hatinya, bahwa sebenarnya itulah diri orang yang sedang berprasangka buruk. Mereka yang berprasangka buruk itu adalah mereka yang tidak pernah mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan sesungguhnya. Sehingga untuk memperoleh kebahagiaan dan kepuasan, jalan yang dilakukan adalah berprasangka buruk. Padahal kebahagiaan dan kepuasan yang diperoleh dari berprasangka buruk hanya dirasa oleh nafsu.
Jika ingin melepaskan diri dari belenggu iblis yang selama ini kuat membelenggu dirimu, seharusnya tempat persembunyian iblis yang ada di hatimu kau gusur dengan tekad bulat. Selama hatimu belum dapat bertekad bulat menggusur iblis dari sudut hati, jangan kau harap Allah dapat mengisi hatimu, sekali pun kau beribadah tunggang langgang, hasilnya hanya laksana buih di pinggir pantai seketika lenyap tidak berarti. Tidakkah kau ketahui ada beberapa tempat persembunyian iblis dihatimu? Jika tempat itu tidak segera kau gusur, selamanya dirimu akan berada dalam rantai ikatan belenggu iblis. “Tempat-tempat” itu adalah: kurang dan bahkan tidak bisa menghargai suami, sebagaimana mestinya seorang istri terhadap suami. Prasangka buruk inilah yang paling banyak menguasai hatimu, baik itu terhadap sesama, khususnya terhadap suami (selalu saja hatimu berprasangka buruk), bahkan terhadap Allah pun kau selalu berprasangka buruk. Akan lebih baik bila kau tidak mengerti apa sebenarnya, maka bertanyalah! Tetapi sikap dirimu tidaklah demikian. Kau suka menduga-duga dan berprasangka. Apakah kau kira sikap demikian itu tidak termasuk dosa?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS.49:12)
Sungguh dosa inilah yang paling banyak di dalam dirimu. Sedangkan prasangka buruk hampir seirama dengan fitnah, sebab fitnah pun belum tentu sesuatu yang nyata. Wahai Si Fulan laksana si bunga mawar batang berduri! Tidakkah kau ketahui bahwasanya Allah mendidik hambanya untuk senantiasa yaqin kepada sesuatu. Apa jadinya kehidupan ini jika hanya diisi oleh manusia-manusia yang suka menduga-duga dan berprasangka, apalagi berprasangka buruk. Sebenarnya prasangka itu adalah sifat iblis dan sifat binatang. Betapa rendahnya diri manusia khususnya dirimu (seorang wanita yang) telah Allah angkat derajatnya pada tingkat yang lebih mulia, tetapi kenyataan sifat perilaku sebagai tampilan sifat perilaku iblis dan binatang. Contoh prasangka buruk pada binatang adalah, apabila seekor binatang ayam diberi makanan secara langsung, maka sang ayam tidak mau segera memakannya, tapi melihat-lihat dulu pada si pemberi makanan, karena sang ayam berprasangka buruk yakni takut jika dengan diberi makan ayam akan dijebak dan ditangkap. Padahal sang pemberi makan itu semata-mata hanya memberi makanan, karena terdorong rasa kasihan dan memang senang terhadap ayam (bukankah hal demikian ini sama halnya dengan sifat prasangka buruk yang ditampilkan oleh ayam?). Demikianlah pula iblis berprasangka buruk terhadap Allah. Prasangka buruk iblis itu adalah dengan mengatakan keluarnya iblis dari syurga karena tersesat. Padahal kesesatan itu pilihan iblis sendiri. Padahal sebelumnya telah Allah jelaskan, jika iblis tidak mengikuti arahan Allah pastilah ia akan tersesat. Ternyata iblis memang memilih sendiri jalan sesat, tetapi Allah yang dipojokkan oleh iblis dengan menuduh justru Allah yang menyesatkan iblis.
Sebenarnya haqeqat prasangka buruk adalah kedengkian. Tanpa kedengkian tidak akan wujud sikap berprasangka buruk, sebagaimana kedengkian iblis terhadap Adam a.s. Begitu pula prasangka buruk yang ada pada dirimu karena didorong rasa kedengkian. Sedangkan prasangka buruk itu sendiri merupakan perangkap untuk menjatuhkan diri seseorang di mata fihak lain. Itulah sebabnya agar martabat kemuliaan tetap terjaga utuh, Allah didik manusia untuk senantiasa yaqin. Sekali pun prasangka burukmu kau tukar dengan berprasangka baik, itu pun belum termasuk seorang itu yaqin, sebagaimana lazimnya terdengar di tengah-tengah masyarakat, yakni “berprasangka baik sajalah kepada Allah”. Bukankah pernyataan tersebut gambaran pernyataan seseorang yang belum yaqin akan kebaikan Allah? Disinilah letak kehalusan iblis menyimpangkan keyaqinan manusia terhadap kebaikan Allah.
Oleh karena itu apa pun bentuk prasangka, apakah itu prasangka baik maupun buruk, tetap ternilai musyrik di mata Allah. Maka untuk menghilangkan prasangka buruk seseorang, diarahkan untuk senantiasa dekat dan bertanya kepada Allah. Sehingga apa yang dilihat, didengar atau ditelusuri tidak lagi membawa nilai prasangka atau duga-duga apalagi ragu-ragu, melainkan suatu yang yaqin dan nyata. Jika sesuatu terlihat baik, maka dengan keyaqinan itulah memang dipandang baik dan apabila sesuatu itu terpandang buruk, maka dengan keyaqinan itu pula akan terpandang buruk. Sangatlah fatal akibatnya bila sesuatu yang dilihat, di dengar ataupun yang sedang ditelusuri diandalkan pada logika semata. Sejauh manakah kemampuan logika dapat diandalkan untuk menyatakan “sesuatu” itu dengan keyaqinan pasti? Akibat ketidakmampuan logika menyatakan sesuatu yang pasti, muncullah prasangka, apakah itu prasangka baik maupun prasangka buruk. Untuk menutupi ketidakmampuan logika mengangkat sesuatu ternilai sebagai keyaqinan pasti, prasangka atau duga-duga ini dihaluskanlah bahasanya dalam dunia ilmu Yhd dikenal dengan istilah hypotesa bahkan lebih tinggi lagi diangkat sebagai suatu teori yaitu “teori kemungkinan”. Berbeda dengan hamba-hamba Allah yang segala sesuatunya selalu dinyatkan langsung kepada Allah, tidak ada yang tidak pasti perolehannya. Hal buruk akan terpandang buruk dan yang baik tetap terpandang baik.
Dikutip dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul: ”Si Paul Peci di Atas Dengkul”, Bunga Rampai LAUKAPARA Seri Noda-Noda kehidupan; Yayasan Badiyo, Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar