Renungan
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱللَّهَ غَـٰفِلًا عَمَّا يَعْمَلُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍۢ تَشْخَصُ فِيهِ ٱلْأَبْصَـٰرُ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak, (QS.14:42)

Sabtu, 30 Oktober 2010

PEREKONOMIAN Dijiwai Semangat MONUMEN 28-10-1928

(Bagian 3)
Kebangkitan Lahirkan Tindakan Kebijakan
Mengusir Badai Ketergantungan Ekonomi

Memang sungguh indah pelabuhan yang hendak dituju bangsa ini, namun yang perlu dipertanyakan: “Sudah sejauh manakah kapal berlayar membawa bangsanya?”. Disinilah timbul sedikit keheranan bagi bangsa ini, kapal yang sudah berlayar begitu cukup lama ternyata belum juga sedikitpun memperlihatkan tanda-tanda akan sampai di pelabuhan adil-makmur bersahaja. Bahkan sebaliknya. Siapapun akan merasakan bahwa yang ditempuh pelayaran kapal sudah cukup lama ternyata hanya terkandas, bahkan terjepit di antara dua batu karang yaitu iming-iming pinjaman lembut berupa hutang yang begitu berbeban berat, menyebabkan kapal tidak bisa berlayar dengan bebas dan lincah, serta ketergantungan hidup pada hutang yang berarti ketergantungan hidup pula dengan fihak pemberi hutang.
Meskipun kapal itu dalam keadaan hampir seluruhnya tenggelam, tetapi

tetap masih ada harapan untuk diselamatkan, kemudian melanjutkan pelayaran ke pelabuhan adil-makmur bersahaja. Bagaimanapun keadaan sangat darurat, sebuah kapal atau bahtera masih dapat dilayarkan, asalkan ada kesepakatan semua fihak yang terkait untuk melepaskan diri-bangsa ini dari dua jepitan batu karang, yakni pinjaman hutang dan ketergantungan hidup ekonomi pada fihak lain. Alangkah jatuhnya derajat bangsa ini dari negara yang sangat diperhitungkan oleh bangsa-bangsa di dunia menjadi bangsa miskin-pengemis. Jika saja semua fihak terkait mau bersama-sama dengan rakyat mengencangkan ikat pinggang, tidaklah sejauh ini jatuhnya martabat bangsa.
Ekonomi yang terjadi selama ini dalam kehidupan bebangsa bukan ekonomi untuk rakyat atau ekonomi kerakyatan, tetapi ekonomi untuk sekelompok orang yang tidak pernah mengenal batas keinginan, yaitu sekelompok orang yang berpendirian teguh pada prinsip ekonomi: “dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”. Oleh sebab itu, sakitnya ekonomi bangsa ini sulit pulihnya bila disuntik hanya dengan pinjaman dana atau hutang, yang mau tidak mau juga menyebabkan bangsa ini jatuh dalam jeratan ketergantungan ekonomi pada fihak luar. Pernahkah petinggi ekonomi bangsa ini memperhitungkan bahwa di balik suntikan pinjaman dana atau hutang bersarang virus yang dapat mematikan jalannya ekonomi bangsa? Oleh sebab itu, alangkah bijaknya bila pemulihan sakitnya ekonomi bangsa ini dilakukan dengan cara kembali atau bertumpu pada yang ada di negeri ini, atau dengan kata lain hidup berdikari diatas kaki bangsa sendiri, meskipun tampaknya agak sedikit lama pemulihan itu diperoleh, tetapi jangkauan lebih baik dan jauh ke depan lebih memberikan harapan untuk kuatnya perekonomian bangsa ini.
Satu hal yang membuat bangsa ini kualat ialah: cukup lama sudah rakyat-kecil dipermainkan oleh ekonomi sekelompok orang. Padahal bila mau bercermin ke belakang sejarah, betapa tertatanya dan betapa kokohnya bangunan perekonomian rakyat-kecil, karena perekonomian rakyat-kecil dijiwai oleh semangat gotong royong. Lain halnya bila perekonomian dijiwai oleh semangat persaingan bebas: siapa yang kuat itulah yang dapat, maka perekonomian yang demikian itu sudah barang tentu berdampak merugikan salah satu fihak yang lemah.
Kembali kepada ajakan semula, maukah semua fihak untuk hidup prihatin dengan mengencangkan ikat-pinggang ditunjang kesederhanaan hidup, agar sakitnya perekonomian bangsa dapat sedikit demi sedikit dipulihkan, daripada memulihkan perekonomian bangsa melalui pinjaman dana atau hutang, dimana buntut dari segala suntikan itu adalah ketergantungan hidup ekonomi. Tampaknya ada-ada saja kesempatan bagi badai untuk menerpa perjalanan negeri ini dalam membawa bangsanya berlayar menuju pelabuhan adil-makmur bersahaja.
Dengan kenyataan demikian ini muncul suatu pertanyaan: “Salahkah negeri ini selaku kapal atau wadah pembawa bangsanya untuk berlayar, ataukah kesalahan itu terletak pada naqoda selaku pemimpin tetinggi dalam suatu pelayaran, yang kemudian banyak didukung para awak-kapal?” Yang pasti kesalahan itu tidak dapat dituduhkan kepada mesin-mesin peralatan kapal, dalam hal ini adalah Pancasila dan UUD ’45. boleh jadi ada kesalahan pada mesin-mesin kapal. Ingat, bukan salah mesin dalam arti mesin tidak layak pakai, tetapi yang pasti terjadi karena salah mempergunakan mesin. Khusunya mesin kapal yang banyak terkait dengan bagian kerja naqoda. Sebenarnya negeri ini tidak saja kaya dengan hasil buminya, tetapi juga kaya dengan simbol-simbol/lambang-lambang yang mengandung pelajaran berharga bagi bangsa ini. Meskipun simbol-simbol itu tampaknya bisu menurut mata-kepala, namun haqiqinya dia tetap berbicara pada orang-orang yang bersih hatinya.

Tulisan ini adalah ringkasan yang dikerjakan Mas Rhido dari tulisan Ki Moenadi MS yang berjudul "PEREKONOMIAN Dijiwai Semangat MONUMEN 28-10-1928", Yayasan Badiyo, Malang (1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar