
Wahai Si Fulan yang bersifat laksana si pohon keladi! Rasakanlah pada dirimu sendiri, jika dirimu difitnah, dicaci maki dan dibeberkan rahasia dirimu oleh orang lain. Bukankah kau akan sakit hati dan sesak di dada? Jika kenyataan kau sendiri merasa sakit hati dengan perbuatan perbuatan tersebut, mengapa terhadap orang lain kau sampai hati berbuat demikian? Tampak-tampaknya kau benar-benar tidak menyukai kebahagiaan dan kedamaian orang lain. Kau benar-benar wanita laksana ular berbisa. Perhatikan dan renungkanlah seekor anjing yang sedang lapar mengonggong-ngonggong mencari tulang dari bak sampah yang satu ke bak sampah yang lain. Setelah didapatnya sepotong tulang kemudian digondolnya dan dicecer atau dibeber-beberkannya. Sekiranya anjing yang sedang membeber-beberkan tulang, bertemu dengan seekor bebek tentulah bebek akan menertawakan, dengan ejekan kepada anjing sebagai berikut:
Hai anjing-anjing bodoh yang kamu beberkan itu adalah barang kotor. Barang sampahan yang telah dibuang. Bukankah masih lebih berharga diriku. Karena apa yang kumakan adalah barang bersih yaitu cacing-cacing atau air-air yang ada di sawah. Bebek berkata kembali: “Pantas saja makananmu itu hina dan kotor, karena kepala , perut, dan pantatmu letaknya sejajar, sehingga kau tak bisa berfikir labih baik. Apa yang ada di kepalamu itu hanya untuk kepuasan perut dan isi pantat”. Tetapi bagiku kata bebek: “Kepalaku berada di atas perut dan pantat”. Apa yang kulakukan serba kufikirkan dulu; “Apakah akan mencelakakan fihak lain ataukah tidak”. Hai anjing-anjing! kata bebek berikutnya. Badanmu saja yang besar, tetapi fikiranmu nol. Kau hanya mondar-mandir ke sana ke mari (ngrumpi sana-sini). Sedangkan yang kau peroleh hanya barang kotor dan kotor, lagi menjijikkan. Perhatikanlah sekali-kali diriku ini, kata bebek: “Aku bebek selalu digembalakan oleh penggembala. Pagi aku digiring ke sawah mencari makan. Petang aku pun digiring sang penggembala pulang ke kandang. Diriku patuh pada sang penggembala, sehingga tak pernah dalam hidupku merasa kekurangan atau merasa tidak puas. Di sawah kami saling bercanda ria antar sesama. Tak pernah kami saling bekelahi seperti dirimu itu hai anjing-anjing. kamilah bebek yang paling patuh pada penggembala kami, sehingga mudah saja bagi kami menjalankan hidup ini. Tidak seperti dirimu yang senantiasa kelaparan”.
Demikian itulah gambaran dirimu Wahai Si Fulan, laksana seekor anjing lapar yang menggondol atau membeberkan tulang yang diperolehnya dari tempat-tempat sampah.
Demikian itulah pekerjaanmu membuat rugi seseorang.
Anjing merasa lapar,
Jika tidak mendapat tulang,
Dirimu merasa lapar,
Jika tidak membeberkan rahasia orang,
Yang hanya sakit hati dan luka jiwa,Demikian itulah pekerjaanmu membuat rugi seseorang.
Dikutip dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul: ”Si Paul Peci di Atas Dengkul”, Bunga Rampai LAUKAPARA Seri Noda-Noda kehidupan; Yayasan Badiyo, Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar