Kemunafikan dan kekufuranmu kepada Allah merupakan suatu rangkaian yang berkesudahan pada sikap dirimu melupakan Allah. Memang demikian tujuan akhir nafsu (melupakan Allah). Dengan adanya kenyataan sikap dirimu melupakan Allah dalam kehidupanmu, maka nafsumu akan bebas sebebas atau serupa para binatang dalam berbuat apa saja. Nafsumu tidak mau terikat oleh ketentuan-ketentuan maupun aturan-aturan Allah. Nafsumu mau berdiri sendiri. Jika itu yang menjadi keinginanmu dan harapanmu, wahai si Fulan yang sulit untuk tahu dirinya, maka tinggalkanlah olehmu bumi Allah ini. Carilah bumi lain yang dapat kau pakai sebagai tempat pengumbaran nafsumu! Tidakkah engkau sadari wahai si Fulan yang tak tahu diri, bahwa hidup ini haqiqinya hanya menumpang di atas bumi/tanah Allah ini. Bukan hanya bumi yang kau tumpangi ini menjadi milik Allah, tetapi segala yang ada pada dirimu itu adalah milik Allah. Dirimulah yang memulai melupakan Allah, maka Allahpun melupkan dirimu. Buah sikapmu melupakan Allah adalah hidupmu porak-poranda tak tentu arah. Oh, betapa sombongnya sikapmu wahai Si Fulan! Sudahkah ada yang dapat kau hasilkan dengan sikapmu memperturuti nafsu? Renungkanlah, sudahkah ada dampak positif yang ditunjukkan oleh nafsumu itu atau sudahkah ada sesuatu yang dicipta nafsu untuk kebaikan diri?
وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْظُرُ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تَهْدِي الْعُمْيَ وَلَوْ كَانُوا لا يُبْصِرُونَ
Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memulai penciptaan makhluk, Kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali?" Katakanlah: "Allah-lah yang memulai penciptaan makhluk, Kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali; Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (kepada menyembah yang selain Allah)?" (QS.10:34)
Dirimu tak bedanya dengan seekor kambing piaraan. Sekalipun kambing ini diberi kandang, pangan dan di jaga, kambing tetap tidak akan pernah mengerti dan menyadari adanya si penggembala. Walaupun si penggembala telah jerih payah menggembalakan ternaknya di padang rumput, selamanya kambing tak mengenal bahkan lupa terhadap penggembalanya.Sang kambing “hanya tahu bagaimana cara agar dirinya selalu kenyang”. Cara yang ditempuh sang kambing adalah : tak mau tahu terhadap Sang Penggembala. Dengan adanaya sikap tak mau tahu terhadap penggembala, dirinya bisa bebas keluyuran kian kemari. Memang kambing tak pernah merasa dirinya digembalakan oleh penggembala. Anggapan sementara yang ada pada diri sang kambing adalah makanan rumput-rumput yang diperoleh selama ini karena usaha dirinya, mencari sendiri. Apakah dengan cara meloncati pagar-pagar tanaman (meloncati kebenaran/ketentuan yang ada) ataupun masuk mencuri di kebun-kebun yang pintunya terbuka. Semua cara demikian ini dilakukan dengan sikap tidak mau tahu. Nah, begitulah gambaran: “MANUSIA YANG HIDUPNYA MELUPAKAN ALLAH, YANG PENTING PERUT KENYANG, NAFSU BEBAS”.
Tidak mengapa, meskipun diri tidak diperhatikan Allah. Karena, diri masih merasa mampu berbuat untuk memenuhi keperluan perut. Apakah diperolehnya dari hasil curian milik suami atau orang lain, tak menjadi soal bagi kambing.
Betapa rendahnya nilai diri seseorang demikian itu? Bukankah lebih rendah daripada kambing dan binatang pada umumnya?
أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
…Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS.7:179)
Renungkanlah dengan mendalam, wahai si Fulan!
Sekiranya engkau meminjamkan sebuah rumah kepada salah seorang sahabatmu yang sangat dekat dan akrab. Setelah serah terima dilakukan, rumah itu pun dini’mati oleh sang peminjam. Lama kelamaan dirasakannya bagaikan milik sendiri. Kemudian seenaknya sendiri dipugarnya rumah tersebut. Dan dijadikan sesuka hatinya, sehingga rumah tersebut tampak seakan tidak layak lagi dijadikan sebagai rumah huni. Dalam hal ini sahabatmu telah lupa kepadamu (selaku yang meminjamkan rumah) karena asyik meni’mati rumah yang dirasa telah menjadi milik sendiri.
Selang kemudian kau datangi sahabatmu tadi. Tetapi sahabatmu tak mau tahu. Sahabatmu sudah tak ingat dan tak kenal kepadamu selaku pemilik rumah yang sebenarnya. Malah dengan kedatanganmu, kau diumpat-umpat bahkan telah dipandang mengganggu ketenangannya berada di rumah tersebut. Bagaimana perasaan hatimu melihat sikap sahabatmu? Serupa itu wahai si Fulan! Bukankah hatimu akan marah dan sakit rasanya, karena rumah sendiri diaku sebagai miliknya. Lagi pula sahabatmu tak mau kenal dan tak mau tahu denganmu. Bukankah kau akan memperjuangkannya dengan semaksimal barang milikmu (rumahmu) yang telah diaku orang lain (sahabatmu) agar kembali kepadamu?
Begitulah gambaran dirimu yang telah melupakan Allah. Allah telah pinjami kamu berupa jasad, ruh, rasa, hati, ‘aqal dan nafsu lengkap dengan segala keperluannya. Tetapi semuanya kau aku sebagai milikmu sendiri. Sebagai bukti kau aku sebagai milik sendiri, apa yang telah Allah pinjamkan padamu tak pernah kau jaga dan pelihara dengan baik. Apa yang dapat kau perbuat terhadap jiwa ragamu? Kau telah beranggapan dan merasa diri sebagai milikmu. Sehingga, biasa-biasa saja bahkan melupakan siapa sesungguhnya yang telah menciptakanmu dan yang memilikimu.
Allah datangi dirimu yang sedang berada dalam berbagai kesusahan, kau pun marah dan menggerutu. Allah dekati dirimu karena haqekatnya dirimu adalah milik Allah, ternyata kau malah lari. Begitulah sikapmu selalu melupakan Allah. Betapa kebencian Allah padamu wahai manusia. Namun demikian kasih Allah tetap juga dicurahkan-Nya. Tidakkah kau sadari akibat perbuatanmu itu? Bencana dan sengsara malanda jiwa ragamu dengan bertubi-tubi. Penyakit yang kau derita itulah bukti biang kehancuran rumah tanggamu yang terletak pada dirimu sendiri. Bukan pada anak-anak atau suami. Suami hanya terkena getah perbuatanmu, sehingga dirinya sakit. Bukan sakit fisik, tapi sakit jiwa yang telah kenyang dengan tingkah polahmu yang berada dalam kancah kekacauan terus menerus, maka bertaubatlah kepada Allah saja.
Sekiranya engkau meminjamkan sebuah rumah kepada salah seorang sahabatmu yang sangat dekat dan akrab. Setelah serah terima dilakukan, rumah itu pun dini’mati oleh sang peminjam. Lama kelamaan dirasakannya bagaikan milik sendiri. Kemudian seenaknya sendiri dipugarnya rumah tersebut. Dan dijadikan sesuka hatinya, sehingga rumah tersebut tampak seakan tidak layak lagi dijadikan sebagai rumah huni. Dalam hal ini sahabatmu telah lupa kepadamu (selaku yang meminjamkan rumah) karena asyik meni’mati rumah yang dirasa telah menjadi milik sendiri.
Selang kemudian kau datangi sahabatmu tadi. Tetapi sahabatmu tak mau tahu. Sahabatmu sudah tak ingat dan tak kenal kepadamu selaku pemilik rumah yang sebenarnya. Malah dengan kedatanganmu, kau diumpat-umpat bahkan telah dipandang mengganggu ketenangannya berada di rumah tersebut. Bagaimana perasaan hatimu melihat sikap sahabatmu? Serupa itu wahai si Fulan! Bukankah hatimu akan marah dan sakit rasanya, karena rumah sendiri diaku sebagai miliknya. Lagi pula sahabatmu tak mau kenal dan tak mau tahu denganmu. Bukankah kau akan memperjuangkannya dengan semaksimal barang milikmu (rumahmu) yang telah diaku orang lain (sahabatmu) agar kembali kepadamu?
Begitulah gambaran dirimu yang telah melupakan Allah. Allah telah pinjami kamu berupa jasad, ruh, rasa, hati, ‘aqal dan nafsu lengkap dengan segala keperluannya. Tetapi semuanya kau aku sebagai milikmu sendiri. Sebagai bukti kau aku sebagai milik sendiri, apa yang telah Allah pinjamkan padamu tak pernah kau jaga dan pelihara dengan baik. Apa yang dapat kau perbuat terhadap jiwa ragamu? Kau telah beranggapan dan merasa diri sebagai milikmu. Sehingga, biasa-biasa saja bahkan melupakan siapa sesungguhnya yang telah menciptakanmu dan yang memilikimu.
Allah datangi dirimu yang sedang berada dalam berbagai kesusahan, kau pun marah dan menggerutu. Allah dekati dirimu karena haqekatnya dirimu adalah milik Allah, ternyata kau malah lari. Begitulah sikapmu selalu melupakan Allah. Betapa kebencian Allah padamu wahai manusia. Namun demikian kasih Allah tetap juga dicurahkan-Nya. Tidakkah kau sadari akibat perbuatanmu itu? Bencana dan sengsara malanda jiwa ragamu dengan bertubi-tubi. Penyakit yang kau derita itulah bukti biang kehancuran rumah tanggamu yang terletak pada dirimu sendiri. Bukan pada anak-anak atau suami. Suami hanya terkena getah perbuatanmu, sehingga dirinya sakit. Bukan sakit fisik, tapi sakit jiwa yang telah kenyang dengan tingkah polahmu yang berada dalam kancah kekacauan terus menerus, maka bertaubatlah kepada Allah saja.
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat. (QS.11:3)
Ingat! Bahwa Allah tak butuh taubatmu bila hanya kata-kata saja. Itu hanya hiasan bibir belaka. Tetapi taubat yang Allah perkenankan adalah taubat dengan bukti tindakan nyata:
* Kau sadari dirimu hina dan kotor di hadapan Allah.
* Kau sadari dirimu hina dan kotor di hadapan Allah.
* Tinggalkan segala keinginan yang hanya untuk memenuhi kepentingan diri/nafsu.
* Terimalah yang ada sebagai suatu ni'mat karunia dari Allah semata.
* Buanglah harapan dan tuntutan nafsu yang berlebihan laksana daun keladi yang senantiasa menengadahkan daunnya keatas.
* Janganlah mengukur diri dengan ukuran-ukuran orang-orang yang bergelimang kemewahan dan gemerlapnya dunia.
* Balikkanlah daun keladi untuk melihat ke bawah. Kau akan dapati betapa banyaknya manusia yang masih menderita. Mereka kurang pakaian, rumah maupun makan untuk keluarga.
Terjadinya kehancuran pada dirimu, disebabkan kau terlalu menuruti hawa nafsu. Kau paksakan diri agar tampak seumpama mereka yang bergelimang harta dan kemewahan dunia. Dalam hal ini kau tak mau bersyukur dengan apa yang ada.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni;mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih". (QS.14:7)
Kau korbankan rumah tangga, walaupun secara nyata harapan dan tuntutan tidak nyata keluar dalam bentuk lisan tetapi hatimu bergelora.
Dikutip dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul: ”Lemah Iman”, Bunga Rampai LAUKAPARA Seri Noda-Noda kehidupan; Yayasan Badiyo, Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar