
Wahai si Fulan hamba Allah!
Renungkan dan resapkanlah dalam hatimu!
* Siapakah sebenarnya yang telah membukakan suara dalam dirimu sehingga kau dapat berkata?
* Siapakah yang telah memasukkan tenaga dalam dirimu sehingga kau dapat bergerak dan berbuat?
* Apakah kau mengira semuanya itu ada dengan sendirinya?
* Tidakkah pernah kau merenung sampai sejauh ini?
* Dan siapakah pula yang menghidupkan dan mematikan seseorang menjadi tak berdaya guna?
* Tidakkah kau ketahui bahwa semua itu datang dari Allah?
* Apakah tidak sepantasnya bila ni’mat tersebut kau syukuri? Dapatkah kau membahas semua kebaikan yang pernah Allah berikan pada dirimu?
Ketahuilah! Allah tidak membutuhkan setetes balasan kebaikan dari manusia. Sebaliknya kebaikan yang dilakukan manusia kembali juga ke diri manusia itu sendiri. Dengan perlakuan sikap Allah meminta sesuatu kepada manusia.
Telah sedemikian rupa Allah bersikap baik kepada manusia, khususnya terhadap dirimu. Tetapi sikapmu selalu berfikiran untuk lebih mendahulukan kepentingan terhadap Allah. Sejenak marilah ajak dirimu dengan kebersihan bathin ke suatu perenungan dengan permisalan dirimu sendiri! Misalnya, kau mempunyai pembantu/anak-buah di suatu pekerjaan. Segala kebutuhannya telah kau cukupi; baik makan, minum, pakaian dan tempat tinggalnya. Tetapi pembantu atau anak-buahmu tersebut, kesehariannya tidak memperlihatkan keta’atan penuh padamu. Sedangkan sikap sang pembantu atau anak-buahmu hanya mau menerima apa saja yang datang dari sisimu selama menguntungkan pribadinya. Tetapi jangan diminta/disuruh untuk sesuatu hal yang dipandang merugikan keuntungan pribadinya. Perhatikanlah sikapnya! Kau telah beri ia makan dan segala kecukupannya. Apa yang telah kau berikan, dimakannya pula tanpa ada timbal balik dapat dia perbuat terhadap dirimu.
Sekalipun kau telah memintanya untuk berbuat sesuatu, misalnya berperan aktif memajukan perusahaan atau pembantu diminta kesediaannya untuk memberi makan dan menjaga anak-anakmu. Tetapi dia malah asyik dengan dirinya sambil berleha-leha. Maka terhadap pembantu atau anak-buah yang bersikap demikian, apa yang hendak kau lakukan pada pembantu yang tak tahu diri itu? Sementara segala kebutuhannya telah dicukupi, tetapi sikap dirinya tidak mau bersyukur dan berterima kasih.
Padahal apabila pembantu atau anak-buah tersebut mau bekerja lebih baik dan lebih ta’at/patuh pada perintahmu, pasti kau akan melipat-gandakan kemurahan kepadanya. Atau terhadap anak-buahmu yang telah kau beri gaji menurut ukuran selayaknya, bukakah tepat bila si anak-buah dimintai pertanggungjawaban terhadap pekerjaannya?
Bila sang anak-bah memperlihatkan kegigihannya dalam memajukan perusahaanmu, pasti kaupun akan bersikap memberikan imbalan berlipat ganda. Sebaliknya bagaimana sikapmu bila anak-buah tidak memperlihatkan kesungguhannya memajukan perusahaanmu? Ia malah sibuk dengan urusan pribadinya, dengan mengesampingkan pekerjaan perusahaan. Tampaknya ia hanya menginginkan imbalan, tetapi tak mau berbuat sungguh-sungguh (patuh pada penjelasan-penjelasanmu). Padahal jika sang anak-buah dapat menyadari, jika perusahaan berjalan lebih maju, bukankah keuntungan akan kembali juga pada dirinya?
Pertanyaan lebih lanjut: “Apa yang kau perbuat terhadap anak-buah yang hanya mau menerima imbalan tanpa mau patuh dan ta’at pada perintahmu?” Sekali, dua kali kau dapat membiarkannya. Tetapi bila terus berkepanjangan, kau pun pasti akan menindaknya. Begitu pula dengan dirimu yang laksana pembantu/anak-buah itu lebih suka mendahulukan kepentingan nafsu daripada kepentingan terhadap Allah. Bagi Allah hal itu tidak mengapa. Karena masing-masing diri telah diberi kebebasan. Dengan kebebasan masing-maisng diri, kelak akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah diperbuat diri manusia.
Sekalipun kau telah memintanya untuk berbuat sesuatu, misalnya berperan aktif memajukan perusahaan atau pembantu diminta kesediaannya untuk memberi makan dan menjaga anak-anakmu. Tetapi dia malah asyik dengan dirinya sambil berleha-leha. Maka terhadap pembantu atau anak-buah yang bersikap demikian, apa yang hendak kau lakukan pada pembantu yang tak tahu diri itu? Sementara segala kebutuhannya telah dicukupi, tetapi sikap dirinya tidak mau bersyukur dan berterima kasih.
Padahal apabila pembantu atau anak-buah tersebut mau bekerja lebih baik dan lebih ta’at/patuh pada perintahmu, pasti kau akan melipat-gandakan kemurahan kepadanya. Atau terhadap anak-buahmu yang telah kau beri gaji menurut ukuran selayaknya, bukakah tepat bila si anak-buah dimintai pertanggungjawaban terhadap pekerjaannya?
Bila sang anak-bah memperlihatkan kegigihannya dalam memajukan perusahaanmu, pasti kaupun akan bersikap memberikan imbalan berlipat ganda. Sebaliknya bagaimana sikapmu bila anak-buah tidak memperlihatkan kesungguhannya memajukan perusahaanmu? Ia malah sibuk dengan urusan pribadinya, dengan mengesampingkan pekerjaan perusahaan. Tampaknya ia hanya menginginkan imbalan, tetapi tak mau berbuat sungguh-sungguh (patuh pada penjelasan-penjelasanmu). Padahal jika sang anak-buah dapat menyadari, jika perusahaan berjalan lebih maju, bukankah keuntungan akan kembali juga pada dirinya?
Pertanyaan lebih lanjut: “Apa yang kau perbuat terhadap anak-buah yang hanya mau menerima imbalan tanpa mau patuh dan ta’at pada perintahmu?” Sekali, dua kali kau dapat membiarkannya. Tetapi bila terus berkepanjangan, kau pun pasti akan menindaknya. Begitu pula dengan dirimu yang laksana pembantu/anak-buah itu lebih suka mendahulukan kepentingan nafsu daripada kepentingan terhadap Allah. Bagi Allah hal itu tidak mengapa. Karena masing-masing diri telah diberi kebebasan. Dengan kebebasan masing-maisng diri, kelak akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah diperbuat diri manusia.
Dikutip dari tulisan Ki Moenadi MS, berjudul: ”Lemah Iman”, Bunga Rampai LAUKAPARA Seri Noda-Noda kehidupan; Yayasan Badiyo, Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar